Saykoji, Iwa K, dan Ras Muhamad Kolab di Single Sidehustle

Apa jadinya dua rapper legend dan penyanyi reggae legend ada di satu lagu?

Mocca Rilis Single Keempat di 2020

Mocca baru aja rilis single keempat di 2020, There’s A Light At The End Of The Tunnel

Indie, Sedang Berusaha Terdengar Mainstream

Mendengarkan lagu anti-mainstream jauh lebih elegan dan berkualitas

4 Negara Tersehat di Dunia

Negara di nomor 2 bikin kamu tercengang!

Media: Taman Bermain Anak Masa Kini

Belum sepenuhnya media itu ramah anak

Desember 09, 2020

Peluru Chapman, Penutup Malam John Lennon

40 tahun yang lalu, di usianya yang menginjak 40 tahun. Senin malam di New York, 8 Desember 1980. Jam menunjukkan kurang dari 11 malam. Sang legenda dari grup band legendaris The Beatles, John Lennon secara tragis dan tak terduga tewas ditembak oleh penggemarnya sendiri, Mark David Chapman.

Lennon dihabisi oleh beberapa lepasan timah panas hanya berjarak beberapa meter dari pintu masuk resepsionis apartemennya di Dakota.



Dua foto di atas merupakan foto-foto yang sangat bersejarah, karena menjadi dua dari tiga foto terakhir John Lennon yang pernah diabadikan, tepat sebelum ajal menjemputnya. Foto tersebut diambil oleh Paul Goresh, sekitar pukul 17.00 sampai 17.30, di hari Senin, 8 Desember 1980. 



Sedangkan foto paling terakhir di atas ialah foto yang paling populer sekaligus mencekam, memperlihatkan dalam satu frame John dengan Chapman, pembunuh John Lennon. Di foto ini, John sedang menandatangani album Double Fantasy yang dibawa Chapman. Di foto ini pula, tidak ada yang tahu jika beberapa jam kemudian Chapman akan menjadi orang yang mengakhiri hidup seorang John Lennon.

Di hari itu, John dan istrinya Yoko Ono baru saja meninggalkan apartemen Dakota. Senin adalah hari yang sibuk bagi orang-orang, tak terkecuali bagi John. Mereka akan pergi ke Record Plant Studio untuk menyelesaikan proses rekaman Walking On Thin Ice, single terbaru dari Yoko.

Tiada hari tanpa fans yang setia menunggu. Begitulah kira-kira ungkapan yang dapat digambarkan di halaman apartemen John setiap harinya. Kala itu, sesaat setelah John dan Yoko keluar dari apartemennya, sudah ada dua orang fans yang sedari lama menunggu John di bawah. 

Dua fans itu ialah Paul Goresh, seorang fotografer dari New Jersey, dan Mark David Chapman, fans berat John Lennon yang berasal dari Georgia. Paul Goresh memang sedang ditempatkan di sekitar Dakota untuk keperluan pekerjaannya. Sedangkan Chapman, datang jauh-jauh dari Georgia sepanjang hampir 1.500 kilometer demi mendapatkan sebuah tandatangan idolanya di album kelima John & Yoko, Double Fantasy yang ia bawa.


Hari yang Sibuk di Hari Terakhirnya

Pagi hari itu cukup cerah, seakan alam tidak memberikan isyarat apapun. Di pagi itu, John Lennon memutuskan untuk mengawali harinya dengan merapikan rambutnya di sebuah salon dekat apartemen. 

Bukan tanpa alasan, ia merapikan rambutnya karena Annie Leibovitz, seorang fotografer Rolling Stone Magazine sudah cukup lama menunggu John di apartemen. Pagi itu, John dan Yoko dijadwalkan akan melakukan sesi foto untuk cover majalah tersebut, yang kemudian dikenang sebagai salah satu cover paling ikonik dan kontroversial.

Belum sempat beristirahat dari sesi foto, di jam makan siang John kembali mendapat panggilan. Kali ini datangnya dari sebuah radio bernama RKO Radio Network. Siang hari pada hari kematiannya dihabiskan John untuk berbincang-bincang dengan RKO Radio melalui sambungan telepon, sembari bermain-main dengan putranya, Sean Lennon yang masih berumur lima tahun.

Dari kiri ke kanan: Jack Douglas; Yoko Ono; John Lennon di Record Plant Studio


Tak terasa matahari sudah akan menenggelamkan dirinya. Petang hari di 8 Desember 1980, John dan Yoko memutuskan untuk menghabiskan sisa hari Senin di Record Plant Studio. Dalam beberapa minggu terakhir, mereka memang sedang sibuk bolak-balik studio menjelang dirilisnya single Yoko Ono berjudul “Walking On Thin Ice”.  Mereka tak mau menunda-nunda lagi karena proses perekaman single tersebut sudah hampir selesai. 


Good Night, Sean

9 Oktober 1980, momen terakhir John merayakan ulang tahun Sean Lennon

Sejatinya, John Lennon akan bermalam di studio. Ia merasa tak enak jika membiarkan staf yang lain bekerja keras menyelesaikan single tersebut yang dijawadwalkan harus beres keesokan harinya. Namun, di sisi lain John terus menerus kepikiran putranya. Semakin larut ia semakin khawatir, karena Sean ditinggal sendirian di apartemen. Untung baginya, sang produser Jack Douglas pun paham akan keinginan John. Jack berjanji single tersebut akan selesai diproses jam 9 pagi esok hari.

Yoko pun lantas berbicara ke Jack. "John ingin pulang ke apartemen tepat waktu. John ingin mengucapkan 'Selamat Malam' ke Sean sebelum ia tidur," ucap Yoko.

The Dakota Building, saksi bisu penembakan John Lennon

Jam menunjukkan pukul 22.49. John Lennon dan Yoko Ono baru saja tiba di apartemen Dakota menggunakan mobil limousin-nya. John sudah tidak sabar untuk bertemu Sean Lennon, mengusap rambut dan mencium pipinya, sembari mengucapkan 'Good Night' sebelum ia tertidur.

Paul Goresh, sang fotografer yang sore harinya sempat memotret John di halaman apartemen, sudah pulang dan meninggalkan daerah Dakota.

Tapi malam itu, Mark David Chapman masih menunggu John untuk kembali ke apartemen. Wajar memang, ia adalah seorang penggemar fanatik kelas berat John Lennon, sampai ia harus rela menunggu berjam-jam hanya untuk berpapasan kembali dengan idolanya.

Yoko turun pertama dari limousin. Chapman lantas menyapa dengan manis kepada istri kedua John tersebut. John lalu turun setelahnya, melewati Chapman begitu saja dan terus berjalan menuju lobby apartemen mengikuti Yoko.

"Mr. Lennon?," teriak Chapman yang tepat berada di belakang John. Spontan, John berbalik badan.

Dash!!

Seketika itu pula, Chapman langsung menembak John tanpa ampun dengan pistol Revolver 38. Lima tembakan berturut-turut ia lepaskan tepat di punggung, pundak, dan lengan John.

Badan John sudah berlumur dengan darah. Tapi ia masih kuat, dengan darah yang semakin deras mengucur sekujur tubuhnya, ia tetap memaksa berjalan beberapa langkah menghampiri ruang resepsionis, sampai akhirnya John menyerah. Ia terjatuh dan berkata "I'm shot! I'm shot!" dengan nada yang sangat lirih.

Jay Hastings, resepsionis apartemen Dakota sangat terkejut baru saja melihat seorang John Lennon tertembak dan tersungkur hanya beberapa meter di depannya. Dengan spontan ia langsung menekan tombol emergency yang langsung tersambung ke kantor polisi setempat.

Saat itu pula, Yoko sangat histeris melihat suami tercintanya sudah lemas terkapar tidak berdaya dengan darah menutupi hampir seluruh tubuhnya. Dua menit berselang, pihak polisi datang menjemput dan seketika membawa John yang sudah sekarat ke Roosevelt Hospital.

Setibanya di rumah sakit, terlihat 7 dokter sudah siap di ruang emergency, berusaha dengan sekuat tenaga menyelamatkan nyawa sang superstar. Konon, saat John baru tiba di rumah sakit, pihak Roosevelt Hospital secara tidak sengaja sedang memutarkan lagu John Lennon.

Tak lama berselang Yoko datang menyusul, dengan sangat cemas menunggu nyawa John bisa diselamatkan dan berharap masih bisa mengucapkan good night kepada Sean, keinginan terakhirnya. 

Sayang, John tidak akan pernah bisa mengucapkan selamat malam kepada anak tercintanya. Bekerja keras selama lebih 15 menit, tim dokter harus menyerah. 

"It wasn't possible to resuscitate him by any means," itulah kalimat yang diucapkan Dr. Stephen Lynn, direktur emergency services Roosevelt Hospital. Dikatakannya, John sudah kehilangan lebih dari 80 persen darah, yang menjadi penyebab utama John harus meregang nyawa.

Jarum jam tepat menunjukkan 23.07. Pihak rumah sakit menyatakan: John Lennon meninggal dunia. 

Seisi Roosevelt Hospital seketika hening. Yoko Ono seakan merasa dirinya sedang ada di dalam mimpi. Saking tidak percayanya, sesaat usai dokter menyatakan John meninggal, Yoko bahkan sempat membentur kepalanya ke lantai selama hampir dua menit.  

Komentator stasiun televisi ABC Howard Cosell yang malam itu sedang mengomentari siaran sepakbola Amerika Monday Night Football, di tengah siarannya langsung mengabarkan kematian John Lennon pertama kali ke seluruh penjuru negara. 

“Hard to go back to the game after that news flash, which in duty bound we have to take,” ujar Cosell usai siaran pertandingan dilangsungkan, seakan masih belum percaya akan apa yang baru saja ia kabarkan.

Malam yang hangat di 8 Desember 1980, berganti menjadi malam kelabu di Amerika, dan seluruh dunia.


Semua Berkabung, Chapman Terkukung


9 Desember 1980 pagi, seluruh dunia berkabung. Semua terkejut. Tidak ada satupun yang menyangka perjalanan hidup sang legenda dari Liverpool harus berakhir dengan tragis. Bahkan, hampir semua koran di Amerika Serikat dan Inggris memasukkan berita kematian John Lennon di headline mereka.

Setahun berselang, Mark David Chapman dijatuhi hukuman 25 tahun penjara pada 1981 dengan rincian pembebasan bersyarat. Pada 2006, di tahun terakhir seharusnya ia mendekam di penjara, Chapman diberi kesempatan untuk bebas bersyarat. Namun, permohonan bebas bersyaratnya ditolak mentah-mentah. Begitupun dengan permohonan terakhirnya pada 2016 silam yang kembali ditolak. Hingga detik ini, Mark David Chapman masih terkukung di balik jeruji besi.

Lewat potongan lirik dalam lagu Imagine yang tersohor itu, ”Nothing to kill or die for”, John Lennon memimpikan kehidupan damai yang aman dan tidak saling membunuh satu sama lain. 

John Winston Lennon, seorang musisi berbakat yang semasa hidupnya menentang keras penggunaan senjata, harus mengakhiri hidupnya oleh sebuah senjata. 

Living life in peace on heaven, John!


Terima kasih telah membaca. Kalau kamu suka, jangan lupa share ya!

1 komentar:

  1. Night vision devices depends on your goggles strategy operate by collecting ambient light, such as moonlight or starlight, and amplifying it to produce a visible image.

    BalasHapus

Copyright 2011 Stoppagetimes Blog - Template by Kautau Dot Com - Editor premium idwebstore